PROPOSAL PENELITIAN
KADAR β – KAROTEN DAN PROKSIMAT KUNIR
PUTIH (Curcuma mangga Val.) SEGAR
VARIASI BAGIAN – BAGIAN RIMPANG
OLEH
RATIH FAJARWATI
10031012
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS AGROINDUSTRI
UNIVERSITAS MERCU BUANA
YOGYAKARTA
2014
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kunir putih dengan nama latin Curcuma mangga Val. Termasuk
family Zingiberaceae merupakan
tanaman yang mempunyai umbi batang (Backer dan Backehuizen, 1968). Kunir putih adalah tanaman semak berumur tahunan. Rimpang kunir putih berbentuk
bulat, mudah dipatahkan, percabangan rimpangnya banyak dan rimpang utamanya
keras. Rimpang kunir putih jika dipotong atau dipatahkan tampak berwarna kuning
dan beraroma seperti mangga sehingga masyarakat menyebutnya kunir mangga atau
temu mangga (Fauziah,1999).
Kunir putih sangat potensial untuk
dikembangkan. Karena menurut Pujimulyani, dkk (2010) kunir putih mengandung
senyawa kurkuminoid dan senyawa polifenol yang menyebabkan bahan tersebut
mempunyai aktivitas antioksidan.
Antioksidan merupakan senyawa yang
terdapat secara alami, jika bahan pangan diolah maka senyawa tersebut dapat mengalami
degradasi sehingga fungsinya berkurang. Cara pemanfaatan kunir putih agar nilai
ekonomisnya meningkat adalah dengan dibuat menjadi berbagai produk pangan
(Darwis, dkk, 2001). Dwiyati dan Agung (2005) melakukan penelitian mengenai
potensi kunir putih sebagai sumber antioksidan alami untuk pengembangan produk
makanan fungsional. Produk olahan yang dibuat adalah syrup kunir putih, bubuk
instan dan tablet effervescent. Hasil
penelitian dikemukakan bahwa semua produk tersebut menunjukkan mempunyai aktivitas
antioksidan.
Rimpang kunir putih memiliki
beberapa peran penting dalam pengobatan beberapa penyakit, antara lain:
antikanker, antiradang (antiflogistik), melancarkan aliran darah, tonik pada
saluran cerna, peluruh haid (emenagog) dan peluruh kentut. Selain itu
berkhasiat untuk mengatasi memar, luka, keseleo, terantuk, terpukul, bisul
(furunculus), bengkak, rematik, pegal linu, sengatan kalajengking atau ular
(penawar racun/bisa), memulihkan tenaga sehabis melahirkan, menambah nafsu
makan,menghilangkan nafas bau, cacingan, ambeien (hemorrhoids), demam, sakit
gigi, jantung koroner, TBC, asma, radang saluran nafas (bronchitis),
mencegah pembengkakan limpa dan mencegah kanker servik . Khasiat lainnya yaitu
sebagai antiinflamasi, analgesik, antimikroba dan antikanker. Rimpang kunir
putih dapat berkhasiat sebagai anti kanker, hal ini dapat diperoleh dari
ekstrak etanol zat warna kuning kurkumin (demetoxycurcumin) pada rimpang kunir
putih (Ningtyas, 2008).
Rimpang kunir putih juga memiliki
kandungan RIP (Ribosome Inacting Protein),
zat antioksidan, dan zat antikurkumin. RIP dapat menonaktifkan pertumbuhan sel
kanker, meluruhkan sel kanker tanpa merusak jaringan
di sekitarnya, dan memblokir pertumbuhannya. Zat
antioksidan berfungsi mencegah kerusakan gen,
sementara zat antikurkumin berkhasiat sebagai antiradang. Selain
itu, kunir putih (Curcuma zedoaria)
juga memiliki kandungan sesquiterpen
berkhasiat antiradang (Trubus, 2010). Dalam penelitian selama ini
digunakan rimpang kunir putih secara keseluruhan dengan tidak disortir sesuai
bagian rimpang kunir putih. Artinya antara bagian rimpang utama dengan anakan
selama ini dicampur baik dalam proses pengolahan menjadi produk pangan
fungsional, sebagai obat dan sebagai bahan penelitian.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu
diteliti kandungan β – karoten dan kandungan proksimat kunir putih pada variasi
bagian – bagian rimpang khususnya pada kunir putih segar.
B.
Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Umum
Menentukan
bagian rimpang kunir putih segar yang mengandung β – karoten tertinggi.
2.
Tujuan khusus
Mengetahui
kadar β – karoten, dan proksimat (kadar air, kadar lemak, kadar abu, kadar
protein dan karbohidrat) kunir putih segar variasi bagian rimpang yaitu empu,
anakan 1 dan anakan 2.
I.
Tinjauan Pustaka
A. Kunir
Putih
Kunir putih (temu mangga) dengan
nama latin Curcuma mangga Val. merupakan tanaman yang berasal dari
Benggala India, yang selanjutnya tersebar ke Malaysia dan Indonesia (Darwis,
1992). Kunir putih (temu mangga) merupakan tanaman semak berumur tahunan, tanaman ini tingginya
mencapai 50 – 70 cm, setinggi jahe. Umbi yang dihasilkan adalah umbi batang.
Rimpang kunir putih berbentuk bulat, renyah dan mudah dipatahkan, kulitnya
dipenuhi semacam akar serabut yang halus hingga menyerupai rambut. Percabangan
rimpangnya banyak dan rimpang utamanya keras. Rimpang yang dibelah tampak
daging buah yang berwarna kekuning – kuningan dibagian tengah. Rimpang kunir
putih berbau seperti bau buah mangga yang sudah matang. Rasa kunir putih
seperti rasa mangga, sehingga masyarakat menyebutnya temu mangga (Fauziah,
1999).
Tanaman
kunir putih diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisio : Spermatophyta
Sub
Divisio : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Zingiberates
Familia : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Specie : Curcuma mangga Val.
Kunir putih merupakan salah satu tanaman
yang memiliki fungsi sebagai obat, salah satu penyakit yang dapat disembuhkan
adalah kanker,
untuk obat tradisional seperti obat sakit perut, penguat lambung, menurunkan
panas badan, serta mengobati penyakit kulit seperti bintik – bintik merah
karena gatal, selain itu juga untuk keperluan dapur.
Kunir putih mengandung minyak
atsiri, tanin, gula dan damar (Fauziah, 1999). Komposisi kimia kunir putih
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel
1. Komposisi kimia kunir putih dalam 100 g
Komponen
|
kadar
|
Energi
(kal)
Air
(g)
Protein
(g)
Lemak
(g)
Total
Karbohidrat (g)
Serat
kasar (g)
Abu
(g)
Kalsium
(mg)
Fosfor
(mg)
Natrium
(mg)
Kalium
(mg)
Besi
(mg)
Tiamin
(mg)
Riblovlavin
(mg)
|
349,00
13,10
6,30
5,10
69,40
2,6
1,3
0,15
0,28
0,03
3,30
18,60
0,03
0,05
|
Sumber : Lukman, 1984
Kunir putih mengandung senyawa kimia yaitu zingiberin, sineol, kurkumin,
kampen, borneol, kampor, resin, kurkuminoid dan kurdion yang berkhasiat untuk
anti kanker. Kandungan kunir putih yang sangat penting adalah pigmen
kurkumunoid yang berwarna orange, kandungan pigmen kurkuminoid dalam kunir
putih berkisar 0,5 – 6 %. Pigmen ini merupakan campuran 3 komponen analog yaitu
kurkumin, demetoksi dan bisdemetoksi kurkumin (Tonnesen, 1986). Ketiga komponen
tersebut mempunyai aktivitas penghambatan oksidasi (metode Ferrythiocynatel FTC) berturut – turut 96,5 ; 93,8 dan 93,3. Selain
itu kunir putih juga mengandung skopolotin 1,7-bis-(-4-hydroxypenyl)-1,4,6-heptation-3-on,
zerumin B dan kalkaratarin A dengan penghambatan oksidasi berturut – turut
sebesar 94,9; 92,9; 16,5 dan 11,5% (Abas dkk, 2005)
B.
Komponen Kimia
Kunir Putih
1. Kadar Air
Kadar air adalah perbedaan antara berat bahan sebelum
dan sesudah dilakukan pemanasan. Setiap bahan bila diletakkan dalam udara
terbuka kadar airnya akan mencapai keseimbangan dengan kelembaban udara di
sekitarnya. Kadar air bahan ini disebut dengan kadar air seimbang. Setiap
kelembaban relatif tertentu dapat menghasilkan kadar air seimbang tertentu
pula. Penetapan
kadar air dapat dilakukan dengan beberapa cara. Hal ini tergantung pada sifat
bahannya. Pada umumnya penentuan
kadar air dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105°C - 110°C selama 3 jam atau
sampai didapat berat yang konstan
(Winarno, 2004).
Penelitian kunir putih segar dengan uji kadar air ini
menggunakan metode thermogravimetri. Prinsip metode thermogravimetri adalah
menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan pemanasan. Kemudian menimbang
bahan sampai berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Secara umum
proses thermogravimetri dilakukan dengan perlakuan yang mencakup penimbangan,
pengovenan, pendinginan hingga diperoleh berat konstan. Metode pengeringan
(thermogravimetri) prinsipnya menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan
pemanasan. Kemudian menimbang bahan sampai berat konstan berarti semua air sudah
diuapkan (Sudarmadji dkk, 1989).
Bahan-bahan
yang tidak tahan panas, seperti bahan berkadar gula tinggi, minyak, daging,
kecap, dan lain-lain pemanasan dilakukan dalam oven vakum dengan suhu yang
lebih rendah. Kadang - kadang pengeringan dilakukan
tanpa pemanasan, bahan dimasukkan dalam eksikator dengan H2SO4
pekat sebagai pengering, hingga m encapai
berat yang konstan. Air juga merupakan komponen penting dalam bahan makanan
karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta citarasa makanan kita.
Bahkan dalam bahan makanan yang kering sekalipun, seperti buah kering, tepung,
serta biji-bijian terkandung air dalam jumlah tertentu (Winarno, 2004).
2. Kadar Lemak
Lipid (dari kata yunani Lipos. Lemak) merupakan
penyusun tumbuhan atau hewan yang dicerikan oleh sifat kelarutannya. Terutama
lipid tidak bisa larut dalam air, tetapi larut dalam larutan non polar seperti
eter (Hart, 2003).
Lemak merupakan sekelompok besar molekul-molekul alam
yang terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen meliputi asam
lemak, malam, sterol, vitamin-vitamin yang larut di dalam lemak (contohnya A,
D, E, dan K), monogliserida, digliserida, fosfolipid, glikolipid, terpenoid
(termasuk di dalamnya getah dan steroid) dan lain-lain. Lemak secara khusus
menjadi sebutan bagi minyak hewani pada suhu ruang, lepas dari wujudnya yang
padat maupun cair, yang terdapat pada jaringan tubuh yang disebut adiposa
(Poedjiadi, 1994).
Dalam analisis lemak, sulit untuk melakukan ekstraksi
lemak secara murni. Hal itu disebabkan pada waktu ekstraksi lemak dengan
pelarut lemak, seperti phospholipid, sterol, asam lemak bebas, pigmen
karotenoid, dan klorofil. Oleh karena itu, hasil analisis lemak ditetapkan
sebagai lemak kasar. Terdapat dua metode dalam penentukan kadar lemak suatu
sampel, yaitu metode ekstraksi kering (menggunakan soxhlet) dan metode
ekstraksi basah (Harper et.al, 1979).
Metode yang digunakan dalam penelitian kunir putih ini
adalah metode soxhelt. Prinsip soxhlet ialah ekstraksi menggunakan pelarut yang
selalu baru, sehingga terjadi ekstraksi kontiyu dengan jumlah pelarut konstan
dengan adanya pendingin balik. Soxhlet terdiri dari pengaduk atau granul
antibumping, still pot (wadah
penyuling, bypass sidearm, thimble
selulosa, extraction liquid, syphon arm inlet, syphon arm outlet, expansion
adapter, condenser (pendingin), cooling
water in, dan cooling water out. Lemak
bebas diekstraksi dengan pelarut non polar. Metode soxhlet yaitu lemak yang
terekstrasi dalam pelarut akan terakumulasi dalam wadah pelarut (labu soxhlet),
kemudian dipisahkan dari pelarutnya dengan cara dipanaskan dengan oven suhu 105ᵒC.
Pelarut akan menguap sedangkan lemak tidak karena titik didih lemak lebih
tinggi dari 105ᵒC, sehingga menguap dan tinggal dalam wadah. Lemak hasil
ekstraksi kemudian ditimbang beratnya lalu dihitung sehingga diperoleh kadar
lemak dalam sampel (Darmasih, 1997).
3. Kadar Abu
Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik
atau mineral yang terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari
96% bahan anorganik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral.
Unsur juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Kadar abu tersebut dapat
menunjukan total mineral dalam suatu bahan pangan. Bahan-bahan organik dalam
proses pembakaran akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena
itulah disebut sebagai kadar abu. Penentuan kadar abu total dapat digunakan
untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu
pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai penentu
parameter nilai gizi suatu bahan makanan (Astuti, 2011).
Kandungan abu dari suatu bahan menunjukkan kadar
mineral dalam bahan tersebut. Ada dua macam garam mineral yang terdapat dalam
bahan menurut Winarno (1997) yaitu:
1.Garam organik :
garam asam malat, oksalat, asetat, pektat
2.Garam anorganik :
garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat.
Dalam menentukan kandungan mineral pada bahan makanan,
bahan harus dihancurkan/didestruksi terlebih dahulu. Cara yang biasa dilakukan
yaitu pengabuan kering (dry ashing)
atau pengabuan langsung dan pengabuan basah (wet digestion). Pemilihan cara tersebut tergantung pada sifat
zat organik dalam bahan, sifat zat anorganik yang ada di
dalam bahan, mineral yang akan dianalisa serta sensitivitas cara yang
digunakan (Apriyantono, et.al, 1989). Prinsip dari pengabuan cara langsung
yaitu dengan mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500
oC – 600oC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang
tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. Pengabuan dilakukan melalui 2
tahap menurut Sudarmaji (1996) yaitu :
1. Pemanasan pada
suhu 300oC yang dilakukan dengan maksud untuk dapat melindungi
kandungan bahan yang bersifat volatil dan bahan berlemak hingga kandungan asam
hilang. Pemanasan dilakukan sampai asap habis.
2. Pemanasan pada
suhu 800oC yang dilakukan agar perubahan suhu pada bahan maupun
porselin tidak secara tiba-tiba agar tidak memecahkan krus yang mudah pecah
pada perubahan suhu yang tiba-tiba.
Pengabuan kering dapat diterapkan pada hampir semua
analisa mineral, kecuali mercuri dan arsen. Pengabuan kering dapat dilakukan
untuk menganalisa kandungan Ca, P, dan Fe akan tetapi kehilangan K dapat
terjadi apabila suhu yang digunakan terlalu tinggi (Sudarmadji, 1996).
4. Kadar Protein
Protein (asal kata protos
dari bahasa Yunani yang berarti “yang paling utama”) adalah senyawa organik
kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer-monomer
asam amino yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida. Protein
berperan penting dalam struktur dan fungsi semua sel makhluk hidup dan virus. Protein
merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena zat ini
berfungsi sebagai sumber energi dalam tubuh serta sebagai zat pembangun dan
pengatur. Protein adalah polimer dari asam amino yang dihubungkan dengan ikatan
peptida. Molekul protein mengandung unsur-unsur C, H, O, N, P, S, dan terkadang
mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno, 1992).
Analisis protein dalam bahan pangan dapat dilakukan
dengan dua metode yaitu metode kuantitatif dan kualitatif. Kadar protein yang
ditentukan berdasarkan cara Kjeldahl disebut sebagai kadar protein kasar
(crude protein) karena terikut
senyawaan N bukan protein misalnya urea, asam nukleat, ammonia, nitrat, nitrit,
asam amino, amida, purin, dan pirimidin. Metode Kjeldahl merupakan metode yang
sederhana untuk penetapan nitrogen total pada asam amino, protein dan senyawa
yang mengandung nitrogen. Sampel didestruksi dengan asam sulfat dan dikatalisis
dengan katalisator yang sesuai sehingga akan menghasilkan amonium sulfat.
Setelah pembebasan dengan alkali kuat, amonia yang terbentuk disuling uap
secara kuantitatif ke dalam larutan penyerap dan ditetapkan secara titrasi.
Metode ini telah banyak mengalami modifikasi. Metode ini cocok digunakan secara
semimikro, sebab hanya memerlukan jumlah sampel dan pereaksi yang sedikit dan
waktu analisa yang pendek (Riani, 2013).
Cara Kjeldahl digunakan untuk menganalisis kadar
protein kasar dalam bahan makanan secara tidak langsung, karena yang dianalisis
dengan cara ini adalah kadar nitrogennya. Dengan mengalikan hasil analisis
tersebut dengan angka konversi 6,25, diperoleh nilai protein dalam bahan
makanan itu. Untuk beras, kedelai, dan gandum angka konversi berturut-turut
sebagai berikut: 5,95, 5,71, dan 5,83. Angka 6,25 berasal dari angka konversi
serum albumin yang biasanya mengandung 16% nitrogen. Prinsip cara analisis
Kjeldahl adalah sebagai berikut: mula-mula bahan didestruksi dengan asam sulfat
pekat menggunakan katalis selenium oksiklorida atau butiran Zn. Amonia yang
terjadi ditampung dan dititrasi dengan bantuan indikator. Cara Kjeldahl pada
umumnya dapat dibedakan atas dua cara, yaitu cara makro dan semimakro. Cara makro
Kjeldahl digunakan untuk contoh yang sukar dihomogenisasi dan besar contoh 1-3
g, sedang semimikro Kjeldahl dirancang untuk contoh ukuran kecil yaitu kurang
dari 300 mg dari bahan yang homogen. Cara analisis tersebut akan berhasil baik
dengan asumsi nitrogen dalam bentuk ikatan N - N dan N - O dalam sampel tidak
terdapat dalam jumlah yang besar. Kekurangan cara analisis ini ialah bahwa
purina, pirimidina, vitamin-vitamin, asam amino besar, kreatina, dan kreatinina
ikut teranalisis dan terukur sebagai nitrogen protein. Walaupun demikian, cara
ini kini masih digunakan dan dianggap cukup teliti untuk pengukuran kadar
protein dalam bahan makanan (Kurniawan, Gigih. 2013).
Analisa protein cara Kjeldahl pada dasarnya dapat
dibagi menjadi tiga tahapan yaitu proses destruksi, proses destilasi dan tahap
titrasi.
a) Tahap destruksi
Pada tahapan ini sampel dipanaskan dalam asam sulfat
pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsur-unsurnya. Elemen karbon,
hidrogen teroksidasi menjadi CO, CO2 dan H2O. Sedangkan
nitrogennya (N) akan berubah menjadi (NH4)2SO4. Untuk
mempercepat proses destruksi sering ditambahkan katalisator berupa campuran Na2SO4
dan HgO (20:1). Gunning menganjurkan menggunakan K2SO4
atau CuSO4. Penambahan katalisator tersebut titik didih asam sulfat
akan dipertinggi sehingga destruksi berjalan lebih cepat. Selain katalisator
yang telah disebutkan tadi, kadang-kadang juga diberikan selenium. Selenium
dapat mempercepat proses oksidasi karena zat tersebut selain menaikkan titik
didih juga mudah mengadakan perubahan dari valensi tinggi ke valensi rendah
atau sebaliknya.
b) Tahap destilasi
Pada tahap destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi
ammonia (NH3) dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan.
Agar selama destilasi tidak terjadi super heating
ataupun pemercikan cairan atau timbulnya gelembung gas yang besar maka dapat
ditambahkan logam zink (Zn). Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap
oleh asam khlorida atau asam borat 4 % dalam jumlah yang berlebihan. Agar supaya
kontak antara asam dan ammonia lebih baik maka diusahakan ujung tabung
destilasi tercelup sedalam mungkin dalam asam. Untuk mengetahui asam dalam
keadaan berlebihan maka diberi indikator misalnya BCG + MR atau PP.
c) Tahap titrasi
Apabila penampung destilat digunakan asam khlorida
maka sisa asam khorida yang bereaksi dengan ammonia dititrasi dengan NaOH
standar (0,1 N). Akhir titrasi ditandai dengan tepat perubahan warna larutan
menjadi merah muda dan tidak hilang selama 30 detik bila menggunakan indikator
PP.
%N = × N. NaOH × 14,008 × 100%
Apabila penampung destilasi digunakan asam borat maka
banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui dengan
titrasi menggunakan asam khlorida 0,1 N dengan indikator (BCG + MR). Akhir
titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari biru menjadi merah muda.
%N = × N.HCl × 14,008 × 100 %
Setelah diperoleh %N, selanjutnya dihitung kadar
proteinnya dengan mengalikan suatu faktor. Besarnya faktor perkalian N menjadi
protein ini tergantung pada persentase N yang menyusun protein dalam suatu
bahan (Kurniawan, Gigih. 2013).
5. Kadar Karbohidrat
Karbohidrat digunakan dalam kimia untuk senyawa dengan
formula Cm(H2O)n, tetapi kini rumus molekul itu tidak secara kaku
digunakan untuk mendefinisikan karbohidrat
(Kennedy dan White 1988). Southgate (1978) menggunakan definisi karbohidrat
sebagai senyawa yang tersusun oleh polihidroksi aldehid, keton, alkohol, asam
dan turunan sederhananya serta polimernya yang memiliki ikatan polimer tipe
asetal. Menurut strukturnya karbohidrat dapat dibagi menjadi kelompok sakarida:
monosakarida, oligosakarida dan polisakarida. Monosakarida adalah gula
sederhana yang tidak dapat dipecah lagi menjadi molekul yang lebih kecil dan
monosakarida inilah yang menjadi unit penyusun dari oligosakarida dan
polisakarida. Oligosakarida dan polisakarida tersusun dari monosakarida yang
dihubungkan dengan ikatan glikosidik.
Total karbohidrat menurut Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (2005) meliputi gula, pati, serat pangan dan komponen karbohidrat lain.
Pernyataan jumlah total karbohidrat dalam gram penyajian yang dinyatakan dengan
nilai gram terdekat, jika penyajian kurang dari 0,5 gram, jumlah kadarnya dapat
dinyatakan sebagai nol dan jika penyajian lebih dari 0,5 gram dibulatkan ke kelipatan
1 gram terdekat. Total karbohidrat dapat dinyatakan dengan total karbohidrat by difference. Total karbohidrat dalam
pengukuran karbohidrat dengan metode langsung dinyatakan dalam bentuk persen
yang setara dengan glukosa. Satuan glukosa (glucose
equivalent) juga dapat diganti dengan
larutan gula lain yang dijadikan sebagai larutan standar.
Kadar karbohidrat di bahan pangan dapat diketahui
dengan menghitung persentase yang tersisa setelah semua komponen lain telah
diukur (total carbohydrate by difference), yaitu dengan persamaan (1.1) (SNI
01-2891-1992): Metode by difference
ini masih digunakan oleh FDA, tetapi metode ini dapat menghasilkan nilai yang
salah karena ada kemungkinan terjadi akumulasi kesalahan dari metode-metode
yang digunakan untuk mengukur komponen lain, dan kemungkinan adanya komponen
non karbohidrat yang terukur sebagai karbohidrat menyebabkan penyimpangan yang
lebih besar. Pengukuran kadar karbohidrat secara langsung lebih baik karena didapat
hasil yang lebih akurat (SNI, 1992).
6. β-Karoten
Beta – karoten adalah antioksidan, merupakan
provitamin A yang apabila dalam tubuh berubah menjadi vitamin A (Winarno. FG,
1991). Dewasa ini tersedia dalam bentuk suplemen dan dalam dosis tinggi. Karena
sifatnya sebagai antioksidan, maka sering dipercaya dapat membantu mengurangi
resiko kanker (M. Satria Ramadhan R, 2010). Adapun struktur β-karoten
ditunjukkan dalam Gambar 1.
Gambar
1. Struktur Kimia β – karoten
β - karoten sama dengan karotenoid yang lain , yaitu pigmen alami yang
larut lemak yang secara umum ditemukan pada tanaman, alga 55 (Dunaliella
salina, Dunaliella bardawil) dan sintesis mikroorganisme. β-karoten memiliki
peran yang menguntungkan bagi kesehatan salah satunya mempunyai aktivitas
sebagai antioksidan, meningkatkan “komunikasi” interselular, immunomodulator
dan antikarsinogenik. Kemampuan β-karoten sebagai antioksidan ditunjukkan dalam
mengikat oksigen (O2), “merantas” radikal peroksil dan menghambat oksidasi
lipid. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa rendahnya β-karoten plasma dan
konsentrasi karotenoid berhubungan dengan meningkatnya resiko kanker esophagus,
lambung dan kanker kulit seperti halnya penyakit kardiovaskuler (Kritchevsky,
1999).
Metode analisa β-karoten dengan spektrofotometri UV-VIS telah digunakan
untuk menganalisa β-karoten dalam berbagai sayuran dan buah - buahan seperti
wortel, papaya, dan labu kuning. Prinsip dalam analisa β-karoten adalah
pemisahan β-karoten dari sampel dengan petroleum benzen, kemudian diukur
absorbansinya pada λ = 450 nm (SNI, 1992)
II.
METODE PENELITIAN
A. Bahan
Bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang kunir putih (Curcuma mangga Val.) yang beraroma khas
seperti buah mangga, berwarna putih kekuningan, dan tidak cacat
dan bahan pembantu lainnya adalah asam sitrat. Sedangkan bahan kimia antara
lain reagen HPO3 - asam
asetat, larutan 2.6 D, ethanol,
PE (Petrolium Eter), FeCl3,
NaNO2 10%, Na2CO3 20%, AlCl2.6H20
10%, NaOH 10%, asam askorbat, DPPH, H2SO4, katalisator, H3BO3
4 %, Indikator MR-BCG, HCL 0,02 N.
B. Alat
Alat
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pisau stainless steel, kompor gas, panci, cabinet dryer, timbangan
analitik, tabung
reaksi, labu pemisah, spektrofotometer, biuret, botol timbang, cawan,
oven,
fortex, erlenmeyer, gelas ukur, beker gelas, pipet ukur,
mikropipet, serta alat gelas lainnya untuk analisa.
C. Tempat
Penelitian
ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Fakultas Agroindustri
Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
D. Cara Penelitian
Pada
peneitian ini digunakan kunir putih segar dengan variasi bagian
rimpang
yaitu empu, anakan 1, dan anakan 2. Kunir putih tersebut dibersihkan,
dilakukan pengecilan ukuran dan kemudian dikeringkan menggunakan Cabinet Dyer suhu 50ᵒC selama 8 jam.
Kunir putih kering tersebut dihaluskan menggunakan blender hingga menjadi bubuk
kunir putih. Bubuk kunir putih diayak dengan ayakan ukuran 60 mesh. Bubuk kunir putih hasil ayakan 60 mesh kemudian dianalisa secara kimia
dengan variasi rimpang kunir putih yaitu empu, anakan 1 dan anakan 2. Diagram
alir pembuatan bubuk kunir putih dapat dilihat pada Gambar 2.
Empu
Anakan 1
Anakan 2
|
Sortasi
|
Pengupasan
|
Pengirisan
|
Pengeringan suhu 50ᵒC selama 8
jam
|
Penggilingan
|
Pengayakan ukuran 60 mesh
|
Empu
Anakan 1
Anakan 2
|
Uji kadar
air, abu, lemak protein, karbohidrat dan β - karoten
|
Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Bubuk Kunir Putih
E. Analisa
Analisa terhadap bubuk kunir putih segar meliputi :
1. Analisa
proksimat, yaitu :
a. Uji
kadar air termogravimetri, (AOAC, 1990)
b. Uji
kadar abu (Dry Ashing),
(AOAC, 1990)
c. Uji
kadar protein (AOAC,
1990)
d. Uji
kadar lemak metode sokhlet
e. Uji
karbohidrat metode By Deferent
2. Analisa
β – karoten
F. Rancangan
Percobaan
Rancangan percobaan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial dengan satu
factor. Data hasil pengamatan dianalisa secara statistik dengan ANOVA dan jika
terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range
Test (DMRT) dengan tingkat signifikan α-95%.
DAFTAR PUSTAKA
Apriyanto,
Anton, et al. 1989. Analisis Pangan. Bogor: IPB-press
Astuti,
2011. Kadar Abu. http://astutipage.wordpress.com/tag/kadar-abu/. Diakses Pada
Tanggal 13 Oktober 2012 Makassar.
BPOM.
2005. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor:
Hk.00.05.41.1384 Tentang Kriteria Dan Tata Laksana Pendaftaran Obat
Tradisional, Obat Herbal Terstandar Dan Fitofarmaka. Jakarta: Depkes RI.
Darmasih.
1997. Prinsip Soxhlet. peternakan.litbang.deptan.go.id/user/ptek97-24.pdf.
(diakses pada tanggal 28 Januari 2012).
Darwis SN, Madjo ABD,
Hasiyah S. 1991. Tanaman Obat Famili
Zingberaceae. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri.
Darwis
SN, Madjo
ABD, Hasiyah S. 1992.
Teknologi Fermentasi. Rajawali-Press, Jakarta.
Dwiyati,
P dan Agung, W. 2005. Potensi Kunir Putih (Curcuma
manga Val.) Sebagai Sumber Antioksidan Alami Untuk Pengembangan Produk
Makanan Fungsional. FTP. Universitas Wangsa Manggala. Yogyakarta.
Dwiyati
Pujimulyani dan Agung Wazyka. 2009. Sifat Antioksidan, Sifat Kimia dan Sifat
Fisik dari Manisan Basah Kunir Putih (Curcuma
mangga Val.). http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/29309167173.pdf. 3
Januari 2010.
Fauziah, 1999.
Temu - temuan dan Empon - empon, Budidaya dan
Manfaatnya. Kanisius.
Yogyakarta.
Harper,
V. W Rodwell, P. A Mayes. 1979. Biokimia. Penerbit EGC: Jakarta.
Hart,
Harold. 2003. Kimia Organik Kuliah Singkat. Erlangga: Jakarta
Kennedy
JF, White CA. 1988. The Plant, Algae, and Microbial Polysaccharides. Di dalam :
Kennedy JF, editor. Carbohydrate Chemistry. Oxford; Clarendon Press.
Kritchevsky,
S. B. 1999. β-Carotene, Carotenoids and
the Prevention of Coronary Heart Disease. Journal Of Nutrition 129: 5–8, 1999.
Kurniawan,
Gigih. 2013. Protein Analysis Kjeldahl Metodh. http://chemistryinorganic.blogspot.com/2013/03/Protein-Kjeldahl.html
(online). Diakses pada tanggal 31 Oktober 2013.
Lukman, AS, 1984.
Pengaruh Blanching Rimpang Kunir Putih Dan Residu Ekstraknya terhadap
Pertumbuhan Bakteri Gram Positif. Skripsi. FTP. IPB. Bogor.
Mohammad
Abas Drs, Dkk, 2005. Biologi, Yudhistira Jakarta.
Paul,
A. A. and Southgate, D. A. T. 1978. McCance and Widdowson’s The Composition of
Foods. Her Majesty’s Stationery Office, London.
Poedjiadi,
A. dan Titin, S. 2007. Dasar-Dasar Biokimia. Universitas Indonesia Press.
Jakarta.
Riani. 2013. Penentuan Kadar Protein dengan Metode Kjeldahl. http://rianitusaya.blogspot.com/2012/10/protein-metode-kjeldahl.html (diunduh pada
tanggal 2 November pkl 09.33 WIB).
SNI
01-2891-1992. Cara Uji Makanan dan
Minuman. Jakarta : Pusat Standarisasi Industri, Departemen Industri,.
Sudarmadji,
Slamet, Suhardi dan Bambang Haryono. 1989. Analisis Bahan Makanan dan
Pertanian. Yogyakarta : Liberti Yogyakarta.
Sudarmadji,
Slamet, Haryono B, Suhardi., 1996. Analisis
Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Pangan
dan Gizi Universitas Gajah Mada.
Liberty.
Tonnesen, H.H., 1986, Chemistry, Stability and Analysis of Curcumin,
Institute of Pharmacy University of Oslo, Oslo, Norway.
Winarno,
F.G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia; Jakarta.
F.G.
Winarno, 1992. Kimia Pangan dan Gizi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Winarno F.G.
1997. Kimia Pangan dan Gizi.
Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Winarno, F.G,
Fardiaz, S., dan Fardiaz, D. 2004. Pengantar
Teknologi Pangan, Jakarta: Penerbit PT. Gramedia pustaka Utama.
Lampiran 1.
Diagram Alir Preparasi Sampel Kunir Putih Menjadi Bubuk Kunir Putih
Empu
Anakan 1
Anakan 2
|
Sortasi
|
Pengupasan
|
Pengirisan
|
Pengeringan suhu 50ᵒC selama 8
jam
|
Penggilingan
|
Pengayakan ukuran 60 mesh
|
Empu
Anakan 1
Anakan 2
|
Uji kadar
air, abu, lemak protein, karbohidrat dan β - karoten
|
Lampiran
2. Langkah Analisa Kadar Air Metode Thermogravimetri
Didinginkan
dalam eksikator dan ditimbang
|
Diulangi
perlakuan sampel sampai konstan
|
Ditimbang
sampel 1-2 g dalam botol timbang
|
Dipanaskan
dalam oven 100-105 selam 3-4 jam
|
Lampiran
3. Langkah Analisa Kadar Abu ( Dry Ashing)
Diulangi
perlakuan sampel sampai konstan
|
Setelah 5 jam suhu diturunkan menjadi 200 ᵒ C dan
matikan muffle tunggu dingin
|
Selanjutnya dipanaskan dalam oven 100-105ᵒC
selam 3-4 jam
|
Didinginkan
dalam eksikator dan ditimbang
|
Ditimbang
sampel 2 - 5 g dalam cawan
|
Dipanaskan
dalam oven muffle suhu 600–800ᵒC selama 5 jam
|
Lampiran
4. Langkah Analisa Kadar Lemak Metode Soxhlet
Ditimbang sampel bubuk kunir
putih 3 – 4 g dan dimasukkan ke dalam selongsong yg dibuat dari kertas
saring
|
Dimasukkan ke dalam soxhlet
yang dibagian bawah sudah terdapat labu untuk menampung hasil ekstraksi
lemak oleh pelarut lemak (PE)
|
Diekstraksi selama 5 jam
dengan suhu 80ᵒC
|
Ditambah larutan Petrolium
Eter (PE) ± 50 ml ke dalam soxhlet
|
Setelah 5 jam hasil ekstraksi
pada labu dimasukkan ke dalam oven 105ᵒC selama 3-4 jam
|
Didinginkan dalam eksikator dan
ditimbang
|
Diulangi perlakuan sampel sampai berat konstan
|
Lampiran
5. Langkah Analisa Kadar Protein Metode Kjeldahl
Ditambah
katalisator 1 sendok dan H2SO4 2 ml
|
Didestruksi
dalam ruang asam sampai menjadi bening
|
Destilasi
|
+ H3BO3
4% 5 ml
+ indicator
MR-BCG 3 tetes
+
Aquades 15 ml
+ Na.
Thio 8 ml
|
Ditimbang
sampel bubuk kunir putih sebanyak 0,05 g
|
Dititrasi
dengan HCL 0,02 N sampai warna kuning
|
Lampiran 6.
Langkah Analisa β – Karoten Metode Spektrofotometri
Ditimbang sampel bubuk kunir
putih 1 g
|
Larutan yang mengandung β –
karoten dicuci dengan aquades dalam labu pemisah (lapisan yang berada di
atas berwarna kuning)
|
Dipisahkan endapan dari
larutan yang mengandung β – karoten dengan labu pemisah
|
Ditambah 5ml etanol standar
95 %,kemudian divorteks 1 menit
|
Ditambah 20 ml Petrolium Eter
kemudian divorteks 10 menit
|
Ditera dengan λ 450 nm dengan
PE sebagai blanko
|
Diambil sebanyak 1 ml dari
lapisan yang berwarna kuning dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi
|
Ditambah Petrolium eter 3 – 4
ml, kemudian divorteks 1 menit
|
I.
Tinjauan Pustaka
A. Kunir
Putih
Kunir putih (temu mangga) dengan
nama latin Curcuma mangga Val. merupakan tanaman yang berasal dari
Benggala India, yang selanjutnya tersebar ke Malaysia dan Indonesia (Darwis,
1992). Kunir putih (temu mangga) merupakan tanaman semak berumur tahunan, tanaman ini tingginya
mencapai 50 – 70 cm, setinggi jahe. Umbi yang dihasilkan adalah umbi batang.
Rimpang kunir putih berbentuk bulat, renyah dan mudah dipatahkan, kulitnya
dipenuhi semacam akar serabut yang halus hingga menyerupai rambut. Percabangan
rimpangnya banyak dan rimpang utamanya keras. Rimpang yang dibelah tampak
daging buah yang berwarna kekuning – kuningan dibagian tengah. Rimpang kunir
putih berbau seperti bau buah mangga yang sudah matang. Rasa kunir putih
seperti rasa mangga, sehingga masyarakat menyebutnya temu mangga (Fauziah,
1999).
Tanaman
kunir putih diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisio : Spermatophyta
Sub
Divisio : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Zingiberates
Familia : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Specie : Curcuma mangga Val.
Kunir putih merupakan salah satu tanaman
yang memiliki fungsi sebagai obat, salah satu penyakit yang dapat disembuhkan
adalah kanker,
untuk obat tradisional seperti obat sakit perut, penguat lambung, menurunkan
panas badan, serta mengobati penyakit kulit seperti bintik – bintik merah
karena gatal, selain itu juga untuk keperluan dapur.
Kunir putih mengandung minyak
atsiri, tanin, gula dan damar (Fauziah, 1999). Komposisi kimia kunir putih
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel
1. Komposisi kimia kunir putih dalam 100 g
Komponen
|
kadar
|
Energi
(kal)
Air
(g)
Protein
(g)
Lemak
(g)
Total
Karbohidrat (g)
Serat
kasar (g)
Abu
(g)
Kalsium
(mg)
Fosfor
(mg)
Natrium
(mg)
Kalium
(mg)
Besi
(mg)
Tiamin
(mg)
Riblovlavin
(mg)
|
349,00
13,10
6,30
5,10
69,40
2,6
1,3
0,15
0,28
0,03
3,30
18,60
0,03
0,05
|
Sumber : Lukman, 1984
Kunir putih mengandung senyawa kimia yaitu zingiberin, sineol, kurkumin,
kampen, borneol, kampor, resin, kurkuminoid dan kurdion yang berkhasiat untuk
anti kanker. Kandungan kunir putih yang sangat penting adalah pigmen
kurkumunoid yang berwarna orange, kandungan pigmen kurkuminoid dalam kunir
putih berkisar 0,5 – 6 %. Pigmen ini merupakan campuran 3 komponen analog yaitu
kurkumin, demetoksi dan bisdemetoksi kurkumin (Tonnesen, 1986). Ketiga komponen
tersebut mempunyai aktivitas penghambatan oksidasi (metode Ferrythiocynatel FTC) berturut – turut 96,5 ; 93,8 dan 93,3. Selain
itu kunir putih juga mengandung skopolotin 1,7-bis-(-4-hydroxypenyl)-1,4,6-heptation-3-on,
zerumin B dan kalkaratarin A dengan penghambatan oksidasi berturut – turut
sebesar 94,9; 92,9; 16,5 dan 11,5% (Abas dkk, 2005)
B.
Komponen Kimia
Kunir Putih
1. Kadar Air
Kadar air adalah perbedaan antara berat bahan sebelum
dan sesudah dilakukan pemanasan. Setiap bahan bila diletakkan dalam udara
terbuka kadar airnya akan mencapai keseimbangan dengan kelembaban udara di
sekitarnya. Kadar air bahan ini disebut dengan kadar air seimbang. Setiap
kelembaban relatif tertentu dapat menghasilkan kadar air seimbang tertentu
pula. Penetapan
kadar air dapat dilakukan dengan beberapa cara. Hal ini tergantung pada sifat
bahannya. Pada umumnya penentuan
kadar air dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105°C - 110°C selama 3 jam atau
sampai didapat berat yang konstan
(Winarno, 2004).
Penelitian kunir putih segar dengan uji kadar air ini
menggunakan metode thermogravimetri. Prinsip metode thermogravimetri adalah
menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan pemanasan. Kemudian menimbang
bahan sampai berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Secara umum
proses thermogravimetri dilakukan dengan perlakuan yang mencakup penimbangan,
pengovenan, pendinginan hingga diperoleh berat konstan. Metode pengeringan
(thermogravimetri) prinsipnya menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan
pemanasan. Kemudian menimbang bahan sampai berat konstan berarti semua air sudah
diuapkan (Sudarmadji dkk, 1989).
Bahan-bahan
yang tidak tahan panas, seperti bahan berkadar gula tinggi, minyak, daging,
kecap, dan lain-lain pemanasan dilakukan dalam oven vakum dengan suhu yang
lebih rendah. Kadang - kadang pengeringan dilakukan
tanpa pemanasan, bahan dimasukkan dalam eksikator dengan H2SO4
pekat sebagai pengering, hingga m encapai
berat yang konstan. Air juga merupakan komponen penting dalam bahan makanan
karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta citarasa makanan kita.
Bahkan dalam bahan makanan yang kering sekalipun, seperti buah kering, tepung,
serta biji-bijian terkandung air dalam jumlah tertentu (Winarno, 2004).
2. Kadar Lemak
Lipid (dari kata yunani Lipos. Lemak) merupakan
penyusun tumbuhan atau hewan yang dicerikan oleh sifat kelarutannya. Terutama
lipid tidak bisa larut dalam air, tetapi larut dalam larutan non polar seperti
eter (Hart, 2003).
Lemak merupakan sekelompok besar molekul-molekul alam
yang terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen meliputi asam
lemak, malam, sterol, vitamin-vitamin yang larut di dalam lemak (contohnya A,
D, E, dan K), monogliserida, digliserida, fosfolipid, glikolipid, terpenoid
(termasuk di dalamnya getah dan steroid) dan lain-lain. Lemak secara khusus
menjadi sebutan bagi minyak hewani pada suhu ruang, lepas dari wujudnya yang
padat maupun cair, yang terdapat pada jaringan tubuh yang disebut adiposa
(Poedjiadi, 1994).
Dalam analisis lemak, sulit untuk melakukan ekstraksi
lemak secara murni. Hal itu disebabkan pada waktu ekstraksi lemak dengan
pelarut lemak, seperti phospholipid, sterol, asam lemak bebas, pigmen
karotenoid, dan klorofil. Oleh karena itu, hasil analisis lemak ditetapkan
sebagai lemak kasar. Terdapat dua metode dalam penentukan kadar lemak suatu
sampel, yaitu metode ekstraksi kering (menggunakan soxhlet) dan metode
ekstraksi basah (Harper et.al, 1979).
Metode yang digunakan dalam penelitian kunir putih ini
adalah metode soxhelt. Prinsip soxhlet ialah ekstraksi menggunakan pelarut yang
selalu baru, sehingga terjadi ekstraksi kontiyu dengan jumlah pelarut konstan
dengan adanya pendingin balik. Soxhlet terdiri dari pengaduk atau granul
antibumping, still pot (wadah
penyuling, bypass sidearm, thimble
selulosa, extraction liquid, syphon arm inlet, syphon arm outlet, expansion
adapter, condenser (pendingin), cooling
water in, dan cooling water out. Lemak
bebas diekstraksi dengan pelarut non polar. Metode soxhlet yaitu lemak yang
terekstrasi dalam pelarut akan terakumulasi dalam wadah pelarut (labu soxhlet),
kemudian dipisahkan dari pelarutnya dengan cara dipanaskan dengan oven suhu 105ᵒC.
Pelarut akan menguap sedangkan lemak tidak karena titik didih lemak lebih
tinggi dari 105ᵒC, sehingga menguap dan tinggal dalam wadah. Lemak hasil
ekstraksi kemudian ditimbang beratnya lalu dihitung sehingga diperoleh kadar
lemak dalam sampel (Darmasih, 1997).
3. Kadar Abu
Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik
atau mineral yang terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari
96% bahan anorganik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral.
Unsur juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Kadar abu tersebut dapat
menunjukan total mineral dalam suatu bahan pangan. Bahan-bahan organik dalam
proses pembakaran akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena
itulah disebut sebagai kadar abu. Penentuan kadar abu total dapat digunakan
untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu
pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai penentu
parameter nilai gizi suatu bahan makanan (Astuti, 2011).
Kandungan abu dari suatu bahan menunjukkan kadar
mineral dalam bahan tersebut. Ada dua macam garam mineral yang terdapat dalam
bahan menurut Winarno (1997) yaitu:
1.Garam organik :
garam asam malat, oksalat, asetat, pektat
2.Garam anorganik :
garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat.
Dalam menentukan kandungan mineral pada bahan makanan,
bahan harus dihancurkan/didestruksi terlebih dahulu. Cara yang biasa dilakukan
yaitu pengabuan kering (dry ashing)
atau pengabuan langsung dan pengabuan basah (wet digestion). Pemilihan cara tersebut tergantung pada sifat
zat organik dalam bahan, sifat zat anorganik yang ada di
dalam bahan, mineral yang akan dianalisa serta sensitivitas cara yang
digunakan (Apriyantono, et.al, 1989). Prinsip dari pengabuan cara langsung
yaitu dengan mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500
oC – 600oC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang
tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. Pengabuan dilakukan melalui 2
tahap menurut Sudarmaji (1996) yaitu :
1. Pemanasan pada
suhu 300oC yang dilakukan dengan maksud untuk dapat melindungi
kandungan bahan yang bersifat volatil dan bahan berlemak hingga kandungan asam
hilang. Pemanasan dilakukan sampai asap habis.
2. Pemanasan pada
suhu 800oC yang dilakukan agar perubahan suhu pada bahan maupun
porselin tidak secara tiba-tiba agar tidak memecahkan krus yang mudah pecah
pada perubahan suhu yang tiba-tiba.
Pengabuan kering dapat diterapkan pada hampir semua
analisa mineral, kecuali mercuri dan arsen. Pengabuan kering dapat dilakukan
untuk menganalisa kandungan Ca, P, dan Fe akan tetapi kehilangan K dapat
terjadi apabila suhu yang digunakan terlalu tinggi (Sudarmadji, 1996).
4. Kadar Protein
Protein (asal kata protos
dari bahasa Yunani yang berarti “yang paling utama”) adalah senyawa organik
kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer-monomer
asam amino yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida. Protein
berperan penting dalam struktur dan fungsi semua sel makhluk hidup dan virus. Protein
merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena zat ini
berfungsi sebagai sumber energi dalam tubuh serta sebagai zat pembangun dan
pengatur. Protein adalah polimer dari asam amino yang dihubungkan dengan ikatan
peptida. Molekul protein mengandung unsur-unsur C, H, O, N, P, S, dan terkadang
mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno, 1992).
Analisis protein dalam bahan pangan dapat dilakukan
dengan dua metode yaitu metode kuantitatif dan kualitatif. Kadar protein yang
ditentukan berdasarkan cara Kjeldahl disebut sebagai kadar protein kasar
(crude protein) karena terikut
senyawaan N bukan protein misalnya urea, asam nukleat, ammonia, nitrat, nitrit,
asam amino, amida, purin, dan pirimidin. Metode Kjeldahl merupakan metode yang
sederhana untuk penetapan nitrogen total pada asam amino, protein dan senyawa
yang mengandung nitrogen. Sampel didestruksi dengan asam sulfat dan dikatalisis
dengan katalisator yang sesuai sehingga akan menghasilkan amonium sulfat.
Setelah pembebasan dengan alkali kuat, amonia yang terbentuk disuling uap
secara kuantitatif ke dalam larutan penyerap dan ditetapkan secara titrasi.
Metode ini telah banyak mengalami modifikasi. Metode ini cocok digunakan secara
semimikro, sebab hanya memerlukan jumlah sampel dan pereaksi yang sedikit dan
waktu analisa yang pendek (Riani, 2013).
Cara Kjeldahl digunakan untuk menganalisis kadar
protein kasar dalam bahan makanan secara tidak langsung, karena yang dianalisis
dengan cara ini adalah kadar nitrogennya. Dengan mengalikan hasil analisis
tersebut dengan angka konversi 6,25, diperoleh nilai protein dalam bahan
makanan itu. Untuk beras, kedelai, dan gandum angka konversi berturut-turut
sebagai berikut: 5,95, 5,71, dan 5,83. Angka 6,25 berasal dari angka konversi
serum albumin yang biasanya mengandung 16% nitrogen. Prinsip cara analisis
Kjeldahl adalah sebagai berikut: mula-mula bahan didestruksi dengan asam sulfat
pekat menggunakan katalis selenium oksiklorida atau butiran Zn. Amonia yang
terjadi ditampung dan dititrasi dengan bantuan indikator. Cara Kjeldahl pada
umumnya dapat dibedakan atas dua cara, yaitu cara makro dan semimakro. Cara makro
Kjeldahl digunakan untuk contoh yang sukar dihomogenisasi dan besar contoh 1-3
g, sedang semimikro Kjeldahl dirancang untuk contoh ukuran kecil yaitu kurang
dari 300 mg dari bahan yang homogen. Cara analisis tersebut akan berhasil baik
dengan asumsi nitrogen dalam bentuk ikatan N - N dan N - O dalam sampel tidak
terdapat dalam jumlah yang besar. Kekurangan cara analisis ini ialah bahwa
purina, pirimidina, vitamin-vitamin, asam amino besar, kreatina, dan kreatinina
ikut teranalisis dan terukur sebagai nitrogen protein. Walaupun demikian, cara
ini kini masih digunakan dan dianggap cukup teliti untuk pengukuran kadar
protein dalam bahan makanan (Kurniawan, Gigih. 2013).
Analisa protein cara Kjeldahl pada dasarnya dapat
dibagi menjadi tiga tahapan yaitu proses destruksi, proses destilasi dan tahap
titrasi.
a) Tahap destruksi
Pada tahapan ini sampel dipanaskan dalam asam sulfat
pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsur-unsurnya. Elemen karbon,
hidrogen teroksidasi menjadi CO, CO2 dan H2O. Sedangkan
nitrogennya (N) akan berubah menjadi (NH4)2SO4. Untuk
mempercepat proses destruksi sering ditambahkan katalisator berupa campuran Na2SO4
dan HgO (20:1). Gunning menganjurkan menggunakan K2SO4
atau CuSO4. Penambahan katalisator tersebut titik didih asam sulfat
akan dipertinggi sehingga destruksi berjalan lebih cepat. Selain katalisator
yang telah disebutkan tadi, kadang-kadang juga diberikan selenium. Selenium
dapat mempercepat proses oksidasi karena zat tersebut selain menaikkan titik
didih juga mudah mengadakan perubahan dari valensi tinggi ke valensi rendah
atau sebaliknya.
b) Tahap destilasi
Pada tahap destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi
ammonia (NH3) dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan.
Agar selama destilasi tidak terjadi super heating
ataupun pemercikan cairan atau timbulnya gelembung gas yang besar maka dapat
ditambahkan logam zink (Zn). Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap
oleh asam khlorida atau asam borat 4 % dalam jumlah yang berlebihan. Agar supaya
kontak antara asam dan ammonia lebih baik maka diusahakan ujung tabung
destilasi tercelup sedalam mungkin dalam asam. Untuk mengetahui asam dalam
keadaan berlebihan maka diberi indikator misalnya BCG + MR atau PP.
c) Tahap titrasi
Apabila penampung destilat digunakan asam khlorida
maka sisa asam khorida yang bereaksi dengan ammonia dititrasi dengan NaOH
standar (0,1 N). Akhir titrasi ditandai dengan tepat perubahan warna larutan
menjadi merah muda dan tidak hilang selama 30 detik bila menggunakan indikator
PP.
%N = × N. NaOH × 14,008 × 100%
Apabila penampung destilasi digunakan asam borat maka
banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui dengan
titrasi menggunakan asam khlorida 0,1 N dengan indikator (BCG + MR). Akhir
titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari biru menjadi merah muda.
%N = × N.HCl × 14,008 × 100 %
Setelah diperoleh %N, selanjutnya dihitung kadar
proteinnya dengan mengalikan suatu faktor. Besarnya faktor perkalian N menjadi
protein ini tergantung pada persentase N yang menyusun protein dalam suatu
bahan (Kurniawan, Gigih. 2013).
5. Kadar Karbohidrat
Karbohidrat digunakan dalam kimia untuk senyawa dengan
formula Cm(H2O)n, tetapi kini rumus molekul itu tidak secara kaku
digunakan untuk mendefinisikan karbohidrat
(Kennedy dan White 1988). Southgate (1978) menggunakan definisi karbohidrat
sebagai senyawa yang tersusun oleh polihidroksi aldehid, keton, alkohol, asam
dan turunan sederhananya serta polimernya yang memiliki ikatan polimer tipe
asetal. Menurut strukturnya karbohidrat dapat dibagi menjadi kelompok sakarida:
monosakarida, oligosakarida dan polisakarida. Monosakarida adalah gula
sederhana yang tidak dapat dipecah lagi menjadi molekul yang lebih kecil dan
monosakarida inilah yang menjadi unit penyusun dari oligosakarida dan
polisakarida. Oligosakarida dan polisakarida tersusun dari monosakarida yang
dihubungkan dengan ikatan glikosidik.
Total karbohidrat menurut Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (2005) meliputi gula, pati, serat pangan dan komponen karbohidrat lain.
Pernyataan jumlah total karbohidrat dalam gram penyajian yang dinyatakan dengan
nilai gram terdekat, jika penyajian kurang dari 0,5 gram, jumlah kadarnya dapat
dinyatakan sebagai nol dan jika penyajian lebih dari 0,5 gram dibulatkan ke kelipatan
1 gram terdekat. Total karbohidrat dapat dinyatakan dengan total karbohidrat by difference. Total karbohidrat dalam
pengukuran karbohidrat dengan metode langsung dinyatakan dalam bentuk persen
yang setara dengan glukosa. Satuan glukosa (glucose
equivalent) juga dapat diganti dengan
larutan gula lain yang dijadikan sebagai larutan standar.
Kadar karbohidrat di bahan pangan dapat diketahui
dengan menghitung persentase yang tersisa setelah semua komponen lain telah
diukur (total carbohydrate by difference), yaitu dengan persamaan (1.1) (SNI
01-2891-1992): Metode by difference
ini masih digunakan oleh FDA, tetapi metode ini dapat menghasilkan nilai yang
salah karena ada kemungkinan terjadi akumulasi kesalahan dari metode-metode
yang digunakan untuk mengukur komponen lain, dan kemungkinan adanya komponen
non karbohidrat yang terukur sebagai karbohidrat menyebabkan penyimpangan yang
lebih besar. Pengukuran kadar karbohidrat secara langsung lebih baik karena didapat
hasil yang lebih akurat (SNI, 1992).
6. β-Karoten
Beta – karoten adalah antioksidan, merupakan
provitamin A yang apabila dalam tubuh berubah menjadi vitamin A (Winarno. FG,
1991). Dewasa ini tersedia dalam bentuk suplemen dan dalam dosis tinggi. Karena
sifatnya sebagai antioksidan, maka sering dipercaya dapat membantu mengurangi
resiko kanker (M. Satria Ramadhan R, 2010). Adapun struktur β-karoten
ditunjukkan dalam Gambar 1.
Gambar
1. Struktur Kimia β – karoten
β - karoten sama dengan karotenoid yang lain , yaitu pigmen alami yang
larut lemak yang secara umum ditemukan pada tanaman, alga 55 (Dunaliella
salina, Dunaliella bardawil) dan sintesis mikroorganisme. β-karoten memiliki
peran yang menguntungkan bagi kesehatan salah satunya mempunyai aktivitas
sebagai antioksidan, meningkatkan “komunikasi” interselular, immunomodulator
dan antikarsinogenik. Kemampuan β-karoten sebagai antioksidan ditunjukkan dalam
mengikat oksigen (O2), “merantas” radikal peroksil dan menghambat oksidasi
lipid. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa rendahnya β-karoten plasma dan
konsentrasi karotenoid berhubungan dengan meningkatnya resiko kanker esophagus,
lambung dan kanker kulit seperti halnya penyakit kardiovaskuler (Kritchevsky,
1999).
Metode analisa β-karoten dengan spektrofotometri UV-VIS telah digunakan
untuk menganalisa β-karoten dalam berbagai sayuran dan buah - buahan seperti
wortel, papaya, dan labu kuning. Prinsip dalam analisa β-karoten adalah
pemisahan β-karoten dari sampel dengan petroleum benzen, kemudian diukur
absorbansinya pada λ = 450 nm (SNI, 1992)
II.
METODE PENELITIAN
A. Bahan
Bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang kunir putih (Curcuma mangga Val.) yang beraroma khas
seperti buah mangga, berwarna putih kekuningan, dan tidak cacat
dan bahan pembantu lainnya adalah asam sitrat. Sedangkan bahan kimia antara
lain reagen HPO3 - asam
asetat, larutan 2.6 D, ethanol,
PE (Petrolium Eter), FeCl3,
NaNO2 10%, Na2CO3 20%, AlCl2.6H20
10%, NaOH 10%, asam askorbat, DPPH, H2SO4, katalisator, H3BO3
4 %, Indikator MR-BCG, HCL 0,02 N.
B. Alat
Alat
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pisau stainless steel, kompor gas, panci, cabinet dryer, timbangan
analitik, tabung
reaksi, labu pemisah, spektrofotometer, biuret, botol timbang, cawan,
oven,
fortex, erlenmeyer, gelas ukur, beker gelas, pipet ukur,
mikropipet, serta alat gelas lainnya untuk analisa.
C. Tempat
Penelitian
ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Fakultas Agroindustri
Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
D. Cara Penelitian
Pada
peneitian ini digunakan kunir putih segar dengan variasi bagian
rimpang
yaitu empu, anakan 1, dan anakan 2. Kunir putih tersebut dibersihkan,
dilakukan pengecilan ukuran dan kemudian dikeringkan menggunakan Cabinet Dyer suhu 50ᵒC selama 8 jam.
Kunir putih kering tersebut dihaluskan menggunakan blender hingga menjadi bubuk
kunir putih. Bubuk kunir putih diayak dengan ayakan ukuran 60 mesh. Bubuk kunir putih hasil ayakan 60 mesh kemudian dianalisa secara kimia
dengan variasi rimpang kunir putih yaitu empu, anakan 1 dan anakan 2. Diagram
alir pembuatan bubuk kunir putih dapat dilihat pada Gambar 2.
Empu
Anakan 1
Anakan 2
|
Sortasi
|
Pengupasan
|
Pengirisan
|
Pengeringan suhu 50ᵒC selama 8
jam
|
Penggilingan
|
Pengayakan ukuran 60 mesh
|
Empu
Anakan 1
Anakan 2
|
Uji kadar
air, abu, lemak protein, karbohidrat dan β - karoten
|
Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Bubuk Kunir Putih
E. Analisa
Analisa terhadap bubuk kunir putih segar meliputi :
1. Analisa
proksimat, yaitu :
a. Uji
kadar air termogravimetri, (AOAC, 1990)
b. Uji
kadar abu (Dry Ashing),
(AOAC, 1990)
c. Uji
kadar protein (AOAC,
1990)
d. Uji
kadar lemak metode sokhlet
e. Uji
karbohidrat metode By Deferent
2. Analisa
β – karoten
F. Rancangan
Percobaan
Rancangan percobaan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial dengan satu
factor. Data hasil pengamatan dianalisa secara statistik dengan ANOVA dan jika
terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range
Test (DMRT) dengan tingkat signifikan α-95%.
DAFTAR PUSTAKA
Apriyanto,
Anton, et al. 1989. Analisis Pangan. Bogor: IPB-press
Astuti,
2011. Kadar Abu. http://astutipage.wordpress.com/tag/kadar-abu/. Diakses Pada
Tanggal 13 Oktober 2012 Makassar.
BPOM.
2005. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor:
Hk.00.05.41.1384 Tentang Kriteria Dan Tata Laksana Pendaftaran Obat
Tradisional, Obat Herbal Terstandar Dan Fitofarmaka. Jakarta: Depkes RI.
Darmasih.
1997. Prinsip Soxhlet. peternakan.litbang.deptan.go.id/user/ptek97-24.pdf.
(diakses pada tanggal 28 Januari 2012).
Darwis SN, Madjo ABD,
Hasiyah S. 1991. Tanaman Obat Famili
Zingberaceae. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri.
Darwis
SN, Madjo
ABD, Hasiyah S. 1992.
Teknologi Fermentasi. Rajawali-Press, Jakarta.
Dwiyati,
P dan Agung, W. 2005. Potensi Kunir Putih (Curcuma
manga Val.) Sebagai Sumber Antioksidan Alami Untuk Pengembangan Produk
Makanan Fungsional. FTP. Universitas Wangsa Manggala. Yogyakarta.
Dwiyati
Pujimulyani dan Agung Wazyka. 2009. Sifat Antioksidan, Sifat Kimia dan Sifat
Fisik dari Manisan Basah Kunir Putih (Curcuma
mangga Val.). http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/29309167173.pdf. 3
Januari 2010.
Fauziah, 1999.
Temu - temuan dan Empon - empon, Budidaya dan
Manfaatnya. Kanisius.
Yogyakarta.
Harper,
V. W Rodwell, P. A Mayes. 1979. Biokimia. Penerbit EGC: Jakarta.
Hart,
Harold. 2003. Kimia Organik Kuliah Singkat. Erlangga: Jakarta
Kennedy
JF, White CA. 1988. The Plant, Algae, and Microbial Polysaccharides. Di dalam :
Kennedy JF, editor. Carbohydrate Chemistry. Oxford; Clarendon Press.
Kritchevsky,
S. B. 1999. β-Carotene, Carotenoids and
the Prevention of Coronary Heart Disease. Journal Of Nutrition 129: 5–8, 1999.
Kurniawan,
Gigih. 2013. Protein Analysis Kjeldahl Metodh. http://chemistryinorganic.blogspot.com/2013/03/Protein-Kjeldahl.html
(online). Diakses pada tanggal 31 Oktober 2013.
Lukman, AS, 1984.
Pengaruh Blanching Rimpang Kunir Putih Dan Residu Ekstraknya terhadap
Pertumbuhan Bakteri Gram Positif. Skripsi. FTP. IPB. Bogor.
Mohammad
Abas Drs, Dkk, 2005. Biologi, Yudhistira Jakarta.
Paul,
A. A. and Southgate, D. A. T. 1978. McCance and Widdowson’s The Composition of
Foods. Her Majesty’s Stationery Office, London.
Poedjiadi,
A. dan Titin, S. 2007. Dasar-Dasar Biokimia. Universitas Indonesia Press.
Jakarta.
Riani. 2013. Penentuan Kadar Protein dengan Metode Kjeldahl. http://rianitusaya.blogspot.com/2012/10/protein-metode-kjeldahl.html (diunduh pada
tanggal 2 November pkl 09.33 WIB).
SNI
01-2891-1992. Cara Uji Makanan dan
Minuman. Jakarta : Pusat Standarisasi Industri, Departemen Industri,.
Sudarmadji,
Slamet, Suhardi dan Bambang Haryono. 1989. Analisis Bahan Makanan dan
Pertanian. Yogyakarta : Liberti Yogyakarta.
Sudarmadji,
Slamet, Haryono B, Suhardi., 1996. Analisis
Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Pangan
dan Gizi Universitas Gajah Mada.
Liberty.
Tonnesen, H.H., 1986, Chemistry, Stability and Analysis of Curcumin,
Institute of Pharmacy University of Oslo, Oslo, Norway.
Winarno,
F.G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia; Jakarta.
F.G.
Winarno, 1992. Kimia Pangan dan Gizi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Winarno F.G.
1997. Kimia Pangan dan Gizi.
Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Winarno, F.G,
Fardiaz, S., dan Fardiaz, D. 2004. Pengantar
Teknologi Pangan, Jakarta: Penerbit PT. Gramedia pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar